Bonai
Ulak Patian-
Kecamatan Kepenuhan
Ulak Patian
nama salah satu desa di Kecamatan Kepenuhan, luas 42,53 km2, jumlah penduduk
300 KK ; Ulak Patian (140KK), Sosial Lamo (85KK), Sosial Baru (75KK)
(data desa
Ulak Patian dan BPS Rohul 2008)
Asal Usul Nama
Bonai
Manai dalam
bahasa Bonai berarti pemalas, kata manai turunannya Monai lalu menjadi Bonai,
kisah sebuah kampung di Kualo Bonai daerah Sungai Rokan Kiri, terdapat
sekelompok orang Sakai dan Bonai yang
pemalas, di Kualo Bonai banyak
tumbuh pohon bonai.
Nama sebuah
pohon menengah (tidak lebih dari 4 meter), berdaun kecil-kecil, buah
bulat-bulat berwarna kemerahan, berwarna hitam bila masak, rasanya agak asam.
Buah bonai ini
merupakan bahan baku masakan ikan, dimasak dgn air secukupnya dan dijadikan
kuah ikan, dengan rasa kuah asam,
(sumber
Rasyid, 23/8/2006)
Mulailah kita
sebutkan kampung nonom itu dari hilir
(kualo sako) ke mudik ; 1. Bonai atau disebut juga Kampung Nogori, 2. Sontang,
3. Torusan Puyuh atau Toruih Puyuh, 4. Titian Gadiang, 5. Toluk Sono atau
disebut juga Kasang Mungkai, 6. Sungai Murai atau disebut juga Muaro Dilam
(sekarang termasuk kedalam Kecamatan Bonai Darussalam). Memang di mulut orang
Bonai nama-nama daerah yang enam ini banyak persamaannya, dikarenakan
kampung-kampung yang disebutkannya berada disekitar daerah kampong nonom
tersebut.
Terjadilah
perkembangan dalam kampung nonom tersebut setelah Sultan Harimau ke Bukik
Langgak (kerajaan tertua di Sungai Rokan Kiri), dan diteruskan ke Rokan IV
Koto.
Keturunan
kampung nonom tersebut ada yang merantau ke Brunai darussalam sekarang, menurut
cerita turun temurun dari T. Khairul Zaman dari Alm. Tengku Abdul AR, di Brunai
darussalam telah membuat nama brunei tersebut dengan nama sukunya, Brunai
darussalam (kampung orang Bonai), dan begitu juga nama Bonai Darussalam dan Kuntodarussalam
adalah nama-nama daerah yang disebutkan suku penghuni dan penguasanya.
Urang Bonai di
Ulak Patian
Asal Suku
Bonai Ulak Patian berasal dari Kampong nonom di Rokan Kiri Kecamatan Bonai
Darussalam, mereka mengatakan berasal dari Bonai onom batin dari kampung Titian
gadiang, Sei. Murai dan Rao-rao (kampung letaknya kualo sako) datang
berkelompok pada tahun 1935 dengan mendaulatkan seorang bogodang bernama Mudo
Kacak, mereka ini adalah suku Bonai yang belum beragama Islam, hanya mengetahui
sedikit-sedikit tentang Islam.
Suku Bonai
yang dibawa oleh Sultan Janggui dan Harimau semestinya beragama Islam, namun
dari pengakuan Pak Rasyid dan diperkuat dari cerita yang disampaikan T.
Khairulzaman, nenek moyang mereka ini adalah dari Suku Sakai-Bonai yang
menempati daerah sekitar pedalaman Tanjung pauh, dan antara Toluk Sono dan
Sontang, menurut Bapak Rasyid mereka ini tidak mau memeluk Islam, kuat bodeo.
Pertama masuk
di daerah Deo Limbuk, sebelumnya mereka memasuki daerah ini sesuai cerita asal
usul nama Ulak Patian. Daerah Deo Limbuk terletak 3km dari Ulak Patian
sekarang, merupakan daerah yang agak tinggi dari keseluruhan daerah Ulak Patian
namun tetap terendam banjik pada saat tertentu air dalam.
Tradisi dan
kepercayaan Urang Bonai
Urang Bonai
yang datang di Ulak Patian tepatnya di daerah Deo Limbuk ini adalah sekelompok
orang bonai keturunan sakai yang kuat
bodeo, hanya sedikit mengerti tentang Islam.
Saat seorang
dari merek (yang tidak jelas asal usulnya, pengakuan Jufrizal dan Bustami)
risau dengan perlakuan masyarakat Ulak patian ini yang suka bodeo, oleh sebab
itulah diminta seorang Mursid Tharekat Naqsabandi di surau Sorao daerah Rokan
Kiri (kemungkinan di sungai rao-rao) bernama Klp. Muhammad Basir, beliau
seorang mursyid dari Luhak Rambah berguru Tharekat di Sorao. Atas permintaan
tersebut maka mursyid tersebut mengabulkannya, tibalah di Ulak Patian dan
langsung mendirikan monosah di daerah Deo Limbuk, dan dari monosah tersebut
lahir pula mursyid-mursyid baru sesuai silsilah; Klp. Mukmin (urang bonai),
Klp. Mahmud (urang bonai), Klp. Ibrahim, dan Klp. Umar (sekarang, anak Klp.
Muhammad Basir).Sekarang munosah dan kuburan para mursyid terdapat di tepi
sungai kampung Ulak Patian.
Peranan mereka
inilah membina ke-Islaman didalam kepercayaan bodeo masyarakat Ulak patian, hal
ini terbukti dari tahun 1935 sampai sekarang, para mursyid ini tidak memaksakan
kepada podeo-podeo tersebut meninggalkan ajarannya secara spontan. namun tetap
menerima Islam namun membawa tradisi dalam kehidupannya, pada tahun 1942 oleh
orang tua Pak. Rasyid bernama Leman dan ibunya Gonto, meapresiasikan bodeo ini
kedalam bentuk seni yang masih hidup pada zaman sekarang, tentunya dibawah
binaan anak kandungnya Rasyid dan beberapa anak jasad gurunya (murid) yang
sudah meninggal seperti Bapak Ugoh, Uak Dumung, mereka ini adalah pewaris bodeo
terakhir di zaman peralihan itu.
Sedangkan para
mursyid (khalipah/Klp) tetap membimbing mereka kearah yang benar sperti ikhsan
(cara mendekatkan diri kepada Allah), namun tetap membawa nilai dan akar budaya
mereka dalam bentuk perpaduan tradisi dengan budaya Tharekat seperti ;
1. Tari Buong
kwayang, tari pengobatan tradisional yang dikemas dalam tari tradisional dimana
dimulai memasukkan syair bernuansa Islam kedalamnya (lihat syair pembuka; Salamualaikum
sibolah kanan, salamualaikum sibolah kiri....)
2. Cegak,
(awang-awang, selesai, baju) semacam tarian dalam acara perhelatan perkawinan
dan hari besar lainnya, dimana beberapa orang membaluti tubuhnya dengan latah
(sampah daun) daun pisang kering, lalu menari-nari yang diiringi oleh musik
gondang borogong. tari ini menurut Bustami, terjadi pada saat penjajahan
Belanda dan Jepang, dimana orang bonai paling tidak suka dengan hal yang baru
apalagi dijajah, maka ia melarikan diri, pada saat jalan buntu mereka berubah
seperti daun dan tidak didapat oleh penjajah, atau menghindari diri dari
penjajah jika ingi keluyar dalam keperluan sehari-hari dimasa itu.
3. Tahan Kuli,
sejenis debus yang melukai diri tanpa bekas
4. Lukah Gilo,
lukah yang menggila yang dipegang oleh beberapa orang.
Tahan kulik
adalah penyaluran kebatinan bodeo dalam tradisi Islam, yaitu dengan menuntut
ilmu Silat Tharekat 21 hari (baca silek Bangkik dan silek 21 hari, jonkobet).
5. Koba, koba
yang terkenal disajikan oleh Bapak Rasyid, dengan judul, Koba amai bocat dan
malin trenso.
Masakan khas
Urang Bonai Ulak Patian adalah “Anyang Kalu”
Ikan kalu yang
di iris-iris tubuhnya dan dicelupkan sesaat dalam air yang mendidih, lalu di
peraskan kulit kayu bintungan yang sudah ditokok (rasanya kolek), lalu digiling
spodeh, cabe, dan disiram dengan asam limau, boleh di oleskan ke ikan dan bisa
juga tidak dioleskan.
Makanan ini
adalah khas Ulak Patian, dahulu dijadikan hidangan penyambut tamu terhormat.
Adat Istiadat
Urang Bonai
Setelah
masuknya Islam (Tharekat) dan kebudayaan di Luhak kepenuhan, maka sebagian
mereka pecah masuk kedalam beberapa suku yang diakui oleh kerapatan adat Luhak
kepenuhan, yaitu
1. Suku Molayu
Panjang, 2 Suku Molayu Bosa, 3. Suku Kandangkopuh, 4. Suku Bono Ampu, 5. Suku
Kuti, dan 6. Suku Moniliang, dari 80% masyarakat Ulak Patian saat ini 50%
terdiri dari Suku Molayu Panjang dan Bosa, selebihnya suku yang lain.
Adat
Perkawinan umumnya seperti yang
dilakukan oleh adat-istiadat Luhak Kepenuhan, sedikit-sedikit membawa cara bodeo,
namun tidak lagi kearah sirik, hanya sebagai tambahan dan pelengkap perayaan
perkawinan.
Asal Usul Tari
Kwayang
(Rekaman Suara
Rasyid 23/08/2006)
Coritonyo
sobob iko kesenian
ikolah waktu
tuk saih panjang jangguik
uak bonamo
paneh sopotang
anak/cucunyo
sakik ikolah bahagian tibonyo ubeknyo
apolah bisanyo
saat itu kalau
seandainyo ibarat boniat
seandainyo
botah cucu aku ko mako dibuek barang iko
ikolah suk
mulai awal sampai terakhirnyo
sampai cucu
bopiuik dimaso akan datang
jadi disaat
itu dek kabul pomintaan “kolambai bongsu” (dewo), saat itu
botah dibantai
peralatan iko,
jadi ikolah
judul lagunyo dek dewa tadi,
mako dapek
judul-judul lagu iko (13 syair tari Buong Kwayang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar